Surga dunia Dari Ibu

Rina
0


Namaku eri. Ayahku bowo berusia 60 tahun dan Ibuku sari berusia 35 tahun. Aku sendiri kini berusia 17 tahun. Aku mempunyai seorang adik perempuan yang berusia 3 tahun dan adik laki-laki berusia 1 tahun. Aku akan bercerita kisah unik yang terjadi di keluargaku tiga tahun yang lalu.

Ibu menikah dengan Ayah yang usianya 25 tahun lebih tua ketika berusia 17 tahun. Selama 15 tahun, aku adalah anak tunggal sampai tiga tahun yang lalu ketika Ibuku hamil untuk kedua kalinya. Ayah adalah pegawai negeri dan ia sebelum menikah dengan Ibu, pernah menikah dengan perempuan lain, namanya Tante dona.

Pertama kali Ayah menikah, usianya 30 tahun. Ia menikah dengan Tante dona yang kala itu berusia 18 tahun. Dari pernikahannya, Ayah dan Tante donna mempunyai 3 anak perempuan bernama maya, tina dan yeni yang lebih tua dariku 9 tahun, 6 tahun dan 4 tahun. Ketika Ayah berusia 41 tahun, ia bercerai dengan Tante donna.

Cerita ini dimulai ketika aku berusia 14 tahun. Ketika aku duduk di kelas 3 smp. Saat itu Ayah berusia 57 tahun dan Ibu 32 tahun.

Jabatan Ayah lumayan tinggi, sehingga mampu menghidupi dua keluarga. Berhubung Tante donna tidak menikah lagi, maka kehidupan keluarga mereka ditanggung sepenuhnya oleh Ayahku juga. Namun tetap saja, Ayahku seringkali dinas luar kota, yang menyebabkan kesehatannya terganggu. Ayah telah beberapa tahun divonis terkena penyakit komplikasi gula dan jantung.

Kisah ini dimulai pada suatu hari yang cerah di rumahku. Saat itu menjelang sore. Aku sedang asyik menonton tv ketika Ayah masuk ruang keluarga dan berbicara padaku.

“Ri. Ayah mau ngomong.” katanya.

Aku mematikan tv dan duduk menghadap Ayah. Dari tampangnya aku tahu bahwa ia ingin menyampaikan sesuatu yang serius.

“Ada apa, yah? Kok serius banget?” tanyaku dengan heran.

Ayahku kemudian duduk di sampingku, dan dengan wajah serius ia berkata.

“Begini, ri. Kamu ingat nggak sekitar dua tahun lalu Ibumu jatuh dari motor ketika pulang belanja naik ojek?”

“Eri masih ingat, yah. Kenapa?”

“Kamu tentu juga masih ingat bahwa untuk setahun, Ibumu memakai korset kesehatan penahan tulang punggungnya?”

“Iya, Ayah. Eri masih ingat.”

“Nah, kamu juga pasti masih ingat, bahwa setelah setahun itu lewat, Ibumu masih harus terapi ke dokter.”

Aku mengangguk. Bulan-bulan pertama Ibu berkali-kali ke dokter. Namun akhir-akhir ini, jarang sekali Ibu pergi ke dokter.

“Nah, dokter melakukan terapi pijat di punggung Ibumu selama setengah tahun. Lalu setelah itu, dokter merasakan bahwa terapi itu tidak perlu lagi dilakukan olehnya. Tetapi, ia menyarankan agar seminggu sekali Ayah memijat punggung Ibumu. Sekarang sudah tiga bulan berjalan, seperti kamu tahu, Ayah seringkali harus pergi ke luar kota, jadi, terapi pijat itu tidak selalu dilakukan seminggu sekali, berhubung Ayah tidak ada di rumah.

Aku hanya mengangguk, namun aku masih belum dapat menebak arah pembicaraan Ayah. Maka aku hanya terdiam menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Nah,” kata Ayah lagi,“setelah berembuk dengan Ibumu, kami memutuskan agar untuk sekarang, terapi ini harus tetap dilakukan seminggu sekali. Berhubung Ayah tidak dapat terus-menerus melakukannya, maka sebaiknya mulai sekarang eri yang melakukan terapi itu kepada Ibu.”

“Tapi Ayah,” jawabku,” eri tidak pernah memijat punggung orang. Apalagi pijat terapi segala. Kalau salah gimana?”

“Tenang saja, ri. Untuk permulaannya, Ayah akan mengajari kamu. Kalau kamu sudah bisa, tentu sudah bisa dilepas. Tapi sebaiknya kamu mempelajarinya secara cepat, karena dalam tiga hari, Ayah harus pergi ke luar kota lagi.”

Aku hanya mengangguk. Berbagai pikiran melintas di otakku. Tiba-tiba saja aku jadi ingat Ibu. Usia Ibu 32 tahun, belum terlalu tua. Selain itu, Ibu memiliki badan yang ramping semampai. Dadanya tidak terlalu besar, ukurannya sedang saja, tetapi bila ia memakai kaos, akan terlihat gundukan mancung yang membuat laki-laki berandai-andai, apakah bentuk asli payudara Ibu.

“Bagaimana?” tanya Ayah.”kamu mau menolong Ibumu?”

Aku mengangkat bahu dan mengangguk, untuk menunjukkan bahwa seakan-akan aku agak malas melakukannya, tetapi aku menunjukkan bahwa aku bersedia. Ayah tersenyum. Katanya.

“Kalau begitu ayo ke kamar Ayah, Ibumu sudah menunggu di sana.”

Dengan dada berdebar aku mengikuti Ayahku masuk ke kamarnya. Ketika aku sampai di kamar Ayah, aku mendapati Ibu telah tiduran telungkup di tempat tidur pijat yang bisa dilipat yang telah dibeli oleh Ayah ketika ia harus memijat Ibu untuk terapi. Aku kaget ketika melihat bahwa daster kuning Ibu sudah dIbuka dan kini bagian atasnya telah ditarik ke bawah sehingga berjumbel di pinggangnya.

Namun, melihat punggung Ibu yang putih dan mulus sontak membuat kontolku perlahan menegang. Ayahku lalu menyuruh aku berdiri di samping Ibu. Tempat tidur lipat itu lebih rendah dari selangkanganku, sehingga Ayahku dapat melihat gundukkan kemaluanku yang menonjol. Tetapi, Ayah sepertinya tidak memperhatikan, sehingga lama kelamaan aku menjadi sedikit lebih santai.

Ayah berdiri di sisi kiri Ibu, sementara aku di sisi kanan. Ia mengambil lotion lalu mulai berbicara mengajarkan aku cara memijat Ibu. Aku berusaha memperhatikan dan mendengarkan pengajaran Ayah, walaupun seringkali pikiranku teralihkan melihat punggung putih Ibu yang sedang dipijit itu. Apalagi setelah diberi lotion yang menyebabkan kulit Ibu tampak begitu mengkilat.

Setelah sekitar lima menit yang penuh siksaan birahi bagiku, tiba-tiba Ayah berhenti, lalu berkata.

“Sekarang kamu coba pijat Ibu, ri.”

Aku meneguk ludah lalu memberanikan diri memegang punggung Ibu. Kulit Ibu begitu halus dan licin. Aku mulai memijat punggung Ibu, perlahan-lahan namun dengan sedikit menekan, seperti yang kulihat Ayah lakukan sebelumnya. Pijatan yang dilakukan Ayah lebih mirip pijat siatshu di mana penggunaan telapak tangan yang membuka lebih sering diterapkan, berbeda dengan pijitan ala indonesia yang lebih mengutamakan kekuatan jari.

“Ingat ya, ri. Pijatnya harus sekitar setengah jam. Lebih juga boleh. Tapi kamu jangan memaksakan diri kalau pegal.”

Aku mengangguk namun terus konsentrasi, berusaha menikmati tiap usapan dan pijatanku di punggung wanita yang seksi di depanku ini. Lalu Ayah berkata bahwa ia akan keluar dari kamar untuk melakukan sesuatu (aku tidak terlalu konsen mendengar perkataannya), dan ia akan kembali sekitar setengah jam lagi.

Aku sedang asyik memijat punggung Ibu sekitar sepuluh menit, ketika Ibu berkata.

“Jangan terlalu keras, sakit.”

Aku mengurangi sedikit tekananku, namun Ibu tetap berkata aku terlalu keras. Beberapa kali aku mengendurkan tekanan telapakku, hingga akhirnya Ibu bilang bahwa pijatannya sudah pas. Aku amat senang dengan perkembangan ini, karena kini aku bukan memijat, melainkan lebih mengelus-elus punggung Ibu. Ibupun tampak beberapa kali menggumam, tampaknya ia menikmati elusan tanganku.

Ketika setengah jam berlalu, kudengar pintu terbuka, entah kenapa aku menjadi takut dan kembali menekan punggung Ibuku agak keras, sesuai dengan cara Ayahku sebelumnya. Ayahku melihatku masih memijat Ibu lalu berkata.

“Oke. Sudah cukup. Bagaimana, bu? Pijatannya cukup enak?”

Ibu kini memalingkan wajahnya yang agak memerah dan berkata.

“Ari sudah bisa, kayaknya, yah.”

Ayah mengangguk-angguk senang, lalu menyuruhku keluar. Aku tak menunggu lama-lama segera bergegas ke kamarku untuk segera masturbasi ketika sampai di kamarku, sambil terus memikirkan punggung Ibu yang seksi, putih dan halus itu.

Keesokan harinya kembali Ayah memanggil aku untuk memijat Ibu. Ibu telah siap seperti kemarin juga, dengan daster kuning berjubel di pinggang, dan bh yang terbuka bagian belakangnya saja. Aku memulai memijati Ibu sambil berharap Ayah akan cepat keluar kamar agar aku dapat mengelus-elus Ibu seperti kemarin lagi, tetapi hari ini Ayah tetap di kamar.

Aku memberanikan diri untuk mulai memperlemah pijatanku di badan Ibu, sambil terus melirik ke arah tempat Ayah duduk. Aku mengelusi punggung Ibu dengan perlahan, karena aku memijati Ibu sambil memperhatikan Ayah, maka aku tidak sadar bahwa saat itu selangkanganku yang masih memakai celana menyentuh pantat Ibu.

Tak ada reaksi apapun dari Ibu, sementara aku menggerakan selangkanganku ke atas tubuh Ibu, berhubung aku memakai celana pendek tipis, maksudku aku ingin merasakan kulit Ibu telanjang dibanding hanya pakaiannya saja. Aku bergerak mengelus-elus pundak Ibu sehingga aku harus beringsut naik, kemudian aku sengaja agak mendoyongkan badanku maju sehingga selangkanganku mengenai punggung bawah Ibu bagian kanannya yang telanjang, hampir dekat pinggangnya.

Sekitar semenit aku tempelkan selangkanganku ke pinggir punggung Ibu itu, aku tak tahan lagi. Aku mulai menggoyangkan pantatku perlahan menekan punggung Ibu dan juga menggoyang pantatku hingga seakan selangkanganku mengebor punggungnya. Nikmat sekali menggeseki punggung halus Ibu sambil mengelus-elus punggungnya.

Sambil terus melihat koran Ayah yang masih menutupi mukanya, aku menarik selangkanganku dari punggung Ibu, dengan cepat aku tarik celanaku kebawah sehingga kontolku terbebas. Entah kenapa aku begitu nekat saat itu, tapi aku kemudian menempelkan kontolku ke punggung kanan Ibu, menggesekki punggung itu dengan bantuan tangan kananku sebanyak lima kali untuk kemudian aku mulai ejakulasi, aku arahkan semburanku ke tengah punggungnya.

Beberapa kali pejuku muncrat dan membasahi punggung putih dan halus Ibu sampai akhirnya spermaku habis. Aku kemudian membersihkan kepala kontolku dengan menekan kepala kontolku itu ke punggung Ibu dan menggesekkinya beberapa kali hingga tidak ada lagi sperma di kontolku. Setelah itu aku segera memakai celana lagi.

Lalu aku secepat kilat mengusapi punggung Ibuku yang penuh peju itu dengan kedua tanganku hingga lama kelamaan tidak terlihat lagi. Tiba-tiba saja bunyi koran diangkat, otomatis aku kembali memijit Ibu dengan serius. Setelah itu, aku memijit Ibu dengan serius karena Ayah sepanjang waktu memperhatikan pijatanku.

Ayah berangkat ke luar kota pagi-pagi keesokan harinya. Sementara aku masih harus sekolah. Ketika sore tiba, aku bersiap dengan memakai kaos longgar dan celana boxer saja. Baju yang santai dapat membuat burungku leluasa bergerak. Ibu kemudian mendatangi kamarku dan berkata.

“Eri, kamu ke kamar Ibu lima menit lagi ya. Ibu mau siap-siap dulu.”

Aku mengangguk dengan antusias. Lalu menunggu selama lima menit yang serasa setahun di pikiranku. Kuperhatikan jam dinding dengan seksama, gerakkan jarum menitnya kurasakan amat lambat dikarenakan aku yang sudah tidak sabar. Akhirnya waktunya tiba dan aku bergegas ke kamar orangtuaku.

Ibu sudah berada di tempat tidur lipat untuk pijat itu. Ia kali ini memakai daster merah dengan bh krem yang terbuka di punggung, kuperhatikan kedua tangannya tidak terlalu rapat di sisi tubuhnya, sehingga terlihat sedikit tonjolan pinggir payudara Ibu. Aku cepat-cepat mengambil lotion lalu mulai mengelus perlahan punggung Ibu.

Punggung yang halus itu kini kuelus dengan perlahan dan pelan. Terkadang aku usap dari daerah bahu ke pinggang, terkadang dengan gerakan memutar. Pada suatu saat ketika aku mengusap punggungnya dari bawah ke atas, kuberanikan diri mengusap Ibu dengan ujung jari mengarah condong ke bawah sedikit sehingga ketika melewati bagian di mana ada tali bra-nya, ujung jari-jariku mengelus pinggir tubuhnya, tepat sebelum gundukan payudara Ibu.

Ini membuatku menjadi berani untuk terkadang mengusap pinggir tubuh Ibu. Sementara Ibu sudah mulai menggumam lagi. Saat itu kuperhatikan rambut Ibu disangul sehingga menampakkan lehernya yang jenjang. Secara otomatis ketika tanganku bergerak ke atas, kedua tanganku mengusap belakang leher Ibu. Untuk dapat menyentuh lehernya, aku harus mendoyongkan tubuhku maju.

Setelah beberapa saat aku baru mencopot celanaku dengan cepat, dan menaruh kontolku di pinggir punggung Ibu lagi. Maka kini sambil mengelusi punggung telanjang Ibu, kontolku menekan punggungnya dan mulai kugesek-gesek perlahan. Ibu hanya mengeluarkan suara desis perlahan ketika kedua tanganku mengelus-elus seluruh punggungnya yang putih dan halus itu.

Sambil terus menggesekkan burungku di bagian samping tubuh Ibu, aku kini mulai berkeinginan meraba pantat Ibu. Maka perlahan jemariku ketika mengusap punggung Ibu ke arah bawah, kususupkan di bawah daster. Aku tidak berani langsung ke pantatnya, melainkan hanya sedikit di bawah daster lalu kembali ke atas.

Makin lama jari-jemariku tidak hanya mengelus sedikit di bawah daster Ibu, melainkan bertambah sesenti demi sesenti. Entah berapa lama aku melakukannya, tetapi perlahan-lahan jari-jemariku merasakan karet celana dalam Ibu pada permulaan gundukan pantat Ibu yang kurasakan memiliki kulit halus namun otot yang cukup kenyal.

Proses penyusupan ke dalam celana dalam Ibu itu berlangsung cukup lama, perlahan-lahan jari jemariku menyusup semakin jauh ke dalam celana dalam Ibu. Tidak ada penolakan dari Ibu yang membuat tubuhku yang penuh dengan nafsu dan ketegangan mulai basah oleh keringat. Tubuh Ibu juga mulai mengeluarkan keringat sehingga lama-kelamaan licin sekali punggung Ibu karena lotionnya bercampur dengan keringat dari telapakku dan dari tubuh Ibu sendiri.

Melihat tubuh Ibu yang berkeringat sehingga tampak mengkilat sementara kontolku menggeseki pinggiran tubuhnya ditambah dengan tanganku yang sedang menjamahnya, membuat aku semakin bernafsu. Kedua tanganku sekarang asyik sekali mengelus-elus pantat Ibu, tanpa kembali ke arah punggung seperti tadi. Seluruh telapak tanganku sudah masuk ke dalam celana dalamnya.

Aku mulai menekan pinggir kanan tubuhku Ibuku dengan kontolku, bila tadi hanya menggesek naik turun, kini aku menusuk pinggir tubuh Ibu. Ibu menggelinjang dan berkata sambil mengikik.

“Jangan di situ… Geli…”

Rupanya karena kontolku menusuk bagian atas pinggang kanannya, Ibu menjadi geli. Bila aku turun ke bawah, maka Ibu akan lebih geli lagi. Maka aku menggeser ke kanan, yaitu ke arah atas tubuh Ibu mendekati ketiaknya. Tahu-tahu kontolku menusuk bagian tubuh Ibu yang kenyal dan membulat. Tadinya aku tidak memperhatikan, karena aku sedang memikirkan cara yang tepat untuk menurunkan celana dalam Ibu tanpa mengagetkannya.

Saat itulah Ibu mulai memutar-mutar dan menekan pantatnya ke arah matras pijit. Ia mengerang lirih, tampaknya Ibu masturbasi dengan menggeseki memeknya ke matras pijat ini. Ibu tampak keenakan, sementara, aku merasa kurang bila hanya menggesek dan menusuk-nusuk tubuh Ibu dengan kontolku saja. Aku perlu yang lebih sekarang.

Akhirnya, aku mendapatkan ide agar dapat melihat pantat Ibu yang telanjang. Aku menghentikan gerakanku. Aku beringsut mendekat ke arah pantat Ibu. Ibu yang merasa tubuhnya tidak dielus lagi memalingkan wajah sehingga menatapku yang tak bercelana, matanya menunjukkan pertanyaan sementara pantatnya berhenti bergoyang.

Aku keluarkan tangan kiriku dari celana dalam Ibu, aku tarik karet celana dalam bagian pinggangnya, lalu aku selipkan kontolku di situ. Aku lalu mulai mengocok kontolku disitu. Begitu kenyal dan hangat pantat Ibu, apalagi pantat itu bergoyang-goyang juga beberapa saat kemudian. Ibu kembali mendesah kecil dan kembali menikmati aktivitas kami.

Setelah pantat Ibu licin, aku melumuri kontolku juga dengan lotion, lalu merubah posisiku ke bagian bawah lagi. Aku memasukkan kontolku ke dalam celana dalam Ibu dari lubang kaki celana dalamnya. Posisi ini mirip sekali dengan doggy style, dan aku penasaran rasanya. Hanya saja, ketika kontolku sudah masuk, aku hanya dapat menekan pantat kanan Ibu, sementara aku ingin merasakan belahan pantat Ibuku itu.

Harus merangkak keatas Ibu. Tak kupedulikan lagi apakah tempat pijit itu kuat atau tidak, karena nafsuku kini sudah membabi buta.

Setelah kontolku bertengger di belahan pantat Ibu dengan sukses, aku menindih Ibu. Bibirku sejajar dengan pangkal leher Ibu berhubung aku masih sedikit lebih pendek daripadanya. Namun saat itu Ibu sedang asyik menggoyang pantatnya keras-keras dan kini tubuhnya agak melengkung ke atas dengan kepala terangkat ke belakang karena sedang menikmati ketabuan aktivitas kami dengan ditopang kedua tangannya yang membentuk siku.

Ibu tiba-tiba saja mengerang lalu secara membabi buta menggoyang pantatnya. Dari mulutnya terdengar geraman demi geraman.

“Heehh… heeeehhh… heeeeehhhh…”

Aku meremas payudara Ibu yang mancung itu dan Ibu semakin keras mengerang dan menggoyang pantatnya, membuat kontolku bergoyang mengikuti iramanya. Aku juga menekan kontolku di belahan pantat Ibu kuat-kuat. Tak lama Ibu mengejang-ngejang sambil menundukkan kepalanya. Aku yang sudah mau sampai juga melihat leher jenjangnya yang penuh keringat tampak begitu seksi sehingga aku menyedot leher belakang Ibu kuat-kuat dengan memiringkan kepalaku saat kontolku menyemprotkan pejunya ke dalam celana dalam Ibu.

Aku menindih Ibu selama beberapa menit sebelum Ibu minta aku turun dari badannya. Ia mengucapkan terimakasih kepadaku dan memasuki kamar mandi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, sehingga akhirnya saat itu aku masuk kamar dan tertidur karena kecapekan.

Ibuku membangunkanku saat waktunya makan malam. Ketika aku membuka mata, Ibu memakai handuk saja, rambutnya basah karena baru saja mandi. Ibu duduk di sampingku ketika membangunkan aku. Aku beringsut duduk dan mendapati bahwa Ibu duduk sangat dekat denganku sampai aku mampu mencium wangi sabun dari tubuhnya.

Aku memegang pundak Ibu yang telanjang. Tubuh Ibu menggigil sebentar namun ia diam saja. Aku mulai mengelus-elus pundaknya.

“Ngapain?” tanya Ibu.

“Mijit… Kan Ibu harus dipijat…”

“Sekali sehari kan sudah cukup menurut dokter,” kata Ibu.

“Tapi kalo lebih dari sekali bukannya tambah bagus?”

“Emang kamu maunya berapa kali?”

“Berkali-kali. Demi kesehatan Ibu, eri bersedia.”

“Emang kamu kuat berkali-kali?”

“Kuatlah…”

Lalu Ibu tidak berbicara lagi. Aku terus mengelusi pundaknya. Pundak halus yang agak lembab dan wangi sabun yang merebak.

“Kalau mau pijet di kamar Ibu donk, pakai tempat tidur lipat untuk pijat.”

“Tanggung ah… Ibu tiduran di sini aja, biar eri mulai pijat.”

Ibu merebahkan diri telungkup masih dengan handuk yang dililit di depannya. Perlahan dengan tangan gemetar aku tari ke atas handuk itu. Ibu mengangkat tubuhnya sebentar lalu aku dengan cepat menariknya sehingga kini Ibu telanjang bulat di depanku walau masih dalam posisi telungkup.

“Taruh di pantat Ibu aja handuknya. Jangan dilempar.” kata Ibu ketika aku melemparkan handuk ke tempat duduk disamping tempat tidurku. Di sana ada handukku yang lebih kecil. Maka aku beringsut lalu mengambil handukku itu lalu menaruh di pantat Ibu. Handuk itu hanya cukup menutup pinggang sampai setengah paha saja.

Aku membuka baju sampai telanjang.

“Kok telanjang?” tanya Ibu.

“Biar ga keringatan kayak tadi sore.”

Aku mulai mengelus-elus punggung Ibu yang halus itu. Sungguh punggung Ibu begitu sempurna di mataku, kehalusan kulit dan kekenyalan ototnya di tambah dengan warna kulit yang begitu putih adalah pemandangan terindah bagiku.

“Lotionnya mana?” tanya Ibu.

“Di kamar Ibu lah…”

“Ga diambil dulu?”

“Ga apa-apa ga pakai lotion kan? Nanti badan Ibu bau lotion.”

“Emang kenapa kalau bau lotion?”

“Kan baru mandi…”

Tanganku mengelus punggung Ibu yang tidak tertutup handuk selama beberapa menit, sebelum akhirnya aku mulai menarik handuk itu. sehingga akhirnya handuk kecil itu tak lagi menutup tubuh Ibu. Ibu kini telanjang bulat didepanku, walaupun tubuhnya masih telungkup. Tidak ada protest lagi dari mulut ibu.

Aku sudah tak sabar lagi, sehingga kini aku berlutut dengan kedua kaki di samping pantat Ibu, sehingga kontolku kini menggantung di atas pantat Ibu, sementara aku mulai mengelus-elus seluruh punggung Ibu, sementara mataku jelalatan melihat belahan pantatnya, selain itu, lipatan bibir memek Ibu terlihat menyembul sedikit di sela-sela antara paha dan pantatnya.

“Pegel nih, bu,” kataku setelah beberapa menit lewat lagi, “kalau eri duduk di paha Ibu, Ibu keberatan ga ya?”

“Duduk aja…”

Dengan hati-hati aku menaruh pantatku di kedua paha sebelah atas Ibu sehingga kontolku yang tegak itu seakan menunjuk langsung ke hadapan kemaluan Ibuku itu, walaupun belum bersentuhan. Namun, posisi kontolku mungkin tinggal beberapa senti saja dari memek Ibu. Begitu dekatnya kemaluanku dengan kemaluan Ibu, sehingga aku dapat merasakan hangatnya udara di sekitar selangkangan Ibuku.

Aku melanjutkan mengelus punggung Ibu. Namun, karena posisiku, tanganku hanya mengelus punggung Ibu saja, paling jauh sampai di antara belikatnya. Aku memutar otak untuk menentukan apakah yang harus aku lakukan selanjutnya ketika Ibu berkata pelan.

“Bahunya kok ga dipijit?”

Pucuk dicinta ulam tiba. Ini adalah momen yang kutunggu-tunggu. Dengan perlahan aku memajukan tubuh ke depan, tangan terjulur untuk meraih pundak Ibu, namun yang terutama aku gerakan adalah pantatku yang perlahan kugerakkan ke depan sehingga perlahan kontolku mendekati lipatan bibir vagina Ibuku.

Ketika tanganku meraih pundaknya, kontolku menyentuh bibir memeknya. Ibu mengeluarkan suara tertahan, dan tubuhnya tiba-tiba terdiam kaku. Aku tak tahu Ibu sedang berpikiran apa, namun aku takut Ibu marah padaku, karena ia terdiam saja. Maka aku menggerakan pantatku kebelakang berbarengan dengan tanganku yang aku mengelus punggung Ibu ke arah bawah hingga mencapai pinggangnya.

Ibu mendesis perlahan, yang membuatku berfikir bahwa Ibu menikmati sentuhan erotisku. Tubuhnya kini sudah tidak kaku seperti tadi. Ibu menjadi rileks, sehingga ketika tanganku naik ke atas lagi, aku uji nyali dengan memajukan lagi pantatku. Aku sudah mengantisipasi benturan pelan antara kedua kelamin kami, sehingga aku dapat menahan nafsu ketika ujung pelirku menyentuh bibir memek Ibu yang rapat, membuat bibir memek itu bergoyang pelan karena dorongan kontolku.

Kurasakan tubuh Ibu menggigil perlahan, mungkin karena efek sentuhan kemaluan kami. Ketika tanganku kutarik ke bawah, aku tidak menarik pantatku sehingga kedua alat kelamin kami tetap bersentuhan pelan. Saat kedua tanganku memegang tepat di bongkahan pantat Ibu, aku menekan pantat itu dan aku mulai menggesekkan kontolku ke bawah sepanjang bibir memek Ibu.

“Jangan dimasukkin…” bisik Ibu.

Sambil tertus menjadikan pantat Ibu tumpuan kedua tanganku, aku mengangkat pantatku sehingga kontolku kembali naik ke atas sepanjang lipatan bibir memek Ibu. Selama beberapa menit, kontolku bergerak naik turun di sepanjang lipatan bibir vagina Ibu yang makin lama makin melembab. Tiba-tiba saja bau tubuh Ibu tercium oleh hidungku.

Bau badan Ibu itu menguar perlahan-lahan menjadi makin jelas, bagaikan ada orang yang menaikkan volume radio perlahan-lahan sampai suaranya keras, demikian pula dengan memek Ibu. Makin lama kontolku menggeseki bibir memeknya, maka memek Ibu mengeluarkan cairan kewanitaannya untuk melumasi pintu surgawi milik Ibu itu.

Ketika aku merasakan ujung kepala kontolku basah karena berlumuran air kenikmatan Ibu, aku mulai menekan pantatku ke depan karena aku sudah gemas dengan kehangatan selangkangan Ibu. Alhasil, bibir vagina Ibu merekah, menyebabkan kontolku masuk ke memek Ibu walaupun tidak menerobos lubang vaginanya. Melainkan, kontolku menggerus bagian dalam memek Ibu, area di mana dinding labium minoranya berada, dari arah lubang sehingga sampai ke klitoris Ibu.

Ibu berteriak kecil, namun suaranya tertutup oleh bantal, karena Ibu membenamkan wajahnya ketika ia merasakan kepala kontolku menyentuh klitorisnya. Aku semakin giat menggesekkan batang kontolku di dinding memek Ibu dalam lipatan labium mayora Ibu. Walaupun belum bisa dibilang menyetubuhi Ibu, namun kontolku telah dapat digesekkan pada dinding otot bagian dalam tempat labium minora Ibu berada.

Tangan Ibu meremas-remas sprei dan pantatnya bergoyang mengikuti goyanganku, tubuh Ibu mulai berkeringat seperti halnya tubuhku juga. Nikmat sekali dinding luar vagina Ibuku. Begitu hangat dan licin. Tetapi aku merasa kurang, dalam posisi ini, di mana aku memegang pantat Ibu sementara kelamin kami bergesekkan.

Maka aku tindih punggung Ibu yang basah itu. Kedua tanganku dengan cepat menyusup ke bawah, Ibu menjawab dengan mengangkat badannya sehingga bagian atas bertumpu di kedua tangannya, membebaskan kedua toket seksinya yang tadi terbenam di tempat tidur. Gerakan Ibu membuat kedua tanganku secara cepat menemukan targetnya, yaitu menggenggam payudara Ibu.

Bibirku mulai mengecup-ngecup pundak Ibu sambil terkadang mengenyotnya perlahan. Ibu kini mengerang-ngerang walau volume suaranya kecil. Lama kelamaan aku mengenyot-ngenyot dan menghisap-hisap pundak Ibu. Tubuh kami kini sudah basah kuyup oleh keringat. Ibu mengibaskan rambutnya ke kiri dan menolehkan kepala sedikit miring ke kiri, sehingga leher kanannya terbuka.

“Ooooohhhhh… Gelliiiiii…”

Aku hisap kuat-kuat leher Ibu. Ibu menggoyangkan pantatnya makin keras, sementara aku kini mulai mencolok-colokkan kontolku ke depan dan belakang, tidak seperti tadi yang mendorong ke bawah dan ke atas. Pada suatu kesempatan kepala kontolku menekan lingkar lubang vagina Ibu dan ketika aku tusuk kepala kontolku itu menancap sedikit dan pada saat itu aku menekan pantat ke depan sehingga kepala kontolku masuk lebih jauh lagi, sekitar sepertiganya ke dalam lubang vagina Ibu yang sudah super licin.

“Ya robbiiii!!!!” teriak Ibu. Tubuhnya mengejang-ngejang bagaikan kesurupan.

Aku kaget merasakan kontolku menerobos lubang kencing Ibu walau cuma sedikit. Sementara tubuh Ibu, lebih tepatnya pantat Ibu bergoyang begitu liar. Aku tarik sedikit pantatku sehingga kontolku tertarik keluar dengan ujung masih di tepi lubang untuk siap-siap menghujam agar bisa ngentotin Ibu. Namun Ibu tiba-tiba membalikkan badan sehingga kami berhadapan, merangkulku erat dan kemudian menjatuhkan aku ke tempat tidur.

Ibu sedikit menunduk dan bibirnya menyedot bibirku. Kami berkecupan dengan penuh nafsu. Sementara Ibu menggoyangkan pantatnya dengan gerakan memutar, dengan klitoris sebagai pusat tekan, menekan kontolku. Kedua tangan Ibu memegang wajahku keras-keras, sementara kedua tanganku memegang dua bongkah pantat Ibu yang kini begitu liar menggoyang dan menggesek kontolku.

Sambil meremas pantat Ibu keras-keras, aku mulai mengeluarkan lidah dan menjilati mulut Ibu yang asyik menciumiku. Ibu tampaknya mengerti keinginanku dan ia mengimbangi lidahku yang nakal itu. Suara kecupan kami terdengar berkali-kali. Penuh dengan suatu impuls penuh birahi bibir kami berperang saling menukarkan ludah ke mulut satu sama lain.

Lalu tiba-tiba Ibu menekan pantatnya keras-keras. Memeknya mengeluarkan cairan lebih banyak lagi, dan tubuh Ibu sedikit mengejan. Mulutnya membuka dan berteriak.

“Eriiiii… Ibu puaasssss…”

Di pihak lain, orgasmeku juga sebentar lagi akan datang, sementara memek Ibu menekan tanpa menggoyang, membuat penisku belum berhasil ejakulasi. Dengan sekuat tenaga, aku memeluk Ibu lalu memutar tubuh kami hingga kini aku menindih tubuh Ibu yang telanjang. Aku beringsut ingin mengangkat pantatku agar aku bisa memasukkan kontolku ke dalam dinding dekat labium minoranya sukur-sukur masuk lubang kenikmatan Ibu, namun saat itu kedua kaki Ibu menjepit pantatku dan pelukannya begitu keras, begitu susah aku menggerakkan selangkanganku.

Dengan susah pAyah aku menggoyangkan pantatku sehingga kontolku menekan-nekan bibir memek Ibu. Beberapa saat Ibu mengendurkan pelukannya, namun aku yang mau sampai tetap memeluk tubuh Ibu dengan kuat, dan pantatku begitu cepat dan keras naik turun sehingga kontolku menggeseki bibir memek Ibu dengan keras.

“Jangan!” teriak Ibu.

Namun liang itu begitu sempit hingga tusukkanku hanya membuat kepala kontolku masuk setengah. Saat itu Ibu memelukku erat-erat lagi. Memeknya melepaskan lagi cairan kewanitaannya, dan cincin lubang vagina Ibu meremas-remas kontolku. Aku menarik kontolku dalam usaha agar nanti menusukkannya lagi, tapi Ibu menahan pantatku dan berkata.

“Jangan ri…”

“Sekali aja, bu… Tanggung nih… Mau keluar nih!”

“Jangan! Nanti Ibu hamil! Ibu ga pakai kontrasepsi!”

Ibu mendorong pinggulku hingga kontolku lepas dari vaginanya. Lalu ia membalikkan badan sehingga posisinya berlutut berpegangan pada kepala tempat tidur dengan satu tangan terentang ke depan bagai memegang stang motor, sembari satu tangan lain memegang batang kontolku dan menariknya hingga aku mengikuti Ibu di belakangnya, Ibu kemudian menyelipkan batangku di dalam lipatan bibir luar memeknya, bagian atas batang kontolku menempel di lubang vagina Ibu, namun bukan pada posisi yang aku inginkan.

“Gesekkin lagi… Sampai kamu keluar…” bisik Ibu yang sedang dalam berlutut itu.

Aku menggenggam payudara Ibu yang mengacung lalu sambil menjilati punggung dan pundak Ibu, aku gesekki lagi memek Ibu yang kembali basah itu. Punggung halus Ibu aku cupangi dan jilati, payudara Ibu aku remas dengan penuh nafsu, dan memeknya aku gesek-gesek, dengan kekuatan yang makin lama makin kuat dan kecepatan yang semakin meningkat pula.

Mungkin karena tadi aku belum sempat ejakulasi dan terhenti, sehingga aku tidak merasa bahwa aku akan ejakulasi dalam waktu yang singkat. Aku menikmati kontolku yang dijepit paha Ibu dengan memek Ibu yang menempel di atas batang kontolku. Ibu menoleh kebelakang lalu kami berciuman cukup lama. Kami melakukan ngentot kering, atau ngentot tanpa penetrasi cukup lama.

Waktu itu Ibu melunglai, dan tanpa direncanakan Ibu menyenderkan kepalanya di kepala tempat tidur. Ini membuat ia harus mendoyong ke depan, dan walaupun posisi agak miring ke atas, tapi posisi Ibu kini sudah hampir bisa di bilang doggie style. Kedua pahanya yang melemas tidak menjepit kontolku lagi, aku terus menggeseki memeknya sambil memandangi memek Ibu yang kini dapat kulihat.

Entah berapa menit berlalu, Ibu tampaknya cukup kuat lagi menggerakkan pantatnya dan ia membalas gesekkanku dengan gesekannya sendiri. Walaupun posisi tubuhnya masih sedikit merangkak, Ibu terus mengimbangi goyanganku. Makin lama selangkangan kami basah kuyup karena cairan vagina Ibu. Ia mulai mendengus-dengus dan mengerang lagi.

Akupun mulai menambah kecepatan. Kubantu dengan kedua tangan yang kini memegang pinggul Ibu. Setiap aku dorong pantatku maka tanganku akan menarik tubuh Ibu, agar gesekannya terasa lebih greget. Juga sebaliknya, bila aku menarikkan pantatku maka tanganku akan mendorong tubuh Ibu ke depan. Lama ke lamaan kami menggesekkan kelamin makin keras dan cepat.

Aku kini memegang kedua pantat Ibu dan dengan kedua jari jempol aku tarik bongkahan pantat Ibu ke samping sehingga terlihat lubang memek Ibu karena bibir luar memeknya merekah. Pemandangan ini membuatku kehilangan kendali. Ketika aku menyadari bahwa tinggal beberapa saat lagi aku ejakulasi, aku pegang kontolku dengan tangan kanan, menaruh kepala kontolku di lubang memek Ibu yang terbuka itu, lalu menaruh kedua tangan di pinggul Ibu, kemudian aku hujamkan kontolku dalam-dalam.

Ibu menjerit.

“Tidaaaaaakkkkkkk…” bibir Ibu menolak kontolku masuk ke dalam memeknya, namun tubuhnya berkata lain. Ibu mendorong pantatnya ke arah tubuhku dengan keras, membuat kontolku amblas masuk sepenuhnya ke dalam vagina Ibuku diiringi bunyi plak! Yang keras tanda pantat Ibu menampar selangkanganku.

Sementara kontolku merasakan sensasi baru yang belum pernah dirasakannya. Dinding vagina Ibuku menyelimuti sekujur batang kontolku. Otot kemaluan bagian dalam memek Ibu begitu halus namun menjepit kuat, ditambahi rasa hangat dan licin, apalagi seluruh dinding Ibu berkontraksi membuka menutup bagaikan mulut ikan yang sedang makan, membuat nafsuku yang memang sudah klimaks tak terbendung lagi.

Ketika kami berdua sudah lemas lunglai, kami terjatuh lemas di tempat tidur, dengan aku masih menindih Ibuku dan kontolku masih terkubur di dalam memek Ibu yang sempit itu. Kurang lebih tiga menit kami terdiam. Herannya kontolku masih keras dan masih gagah di dalam kemaluan Ibuku.

“Eri…” kata Ibu lirih.

“Ya bu?”

“Kita tidak boleh melakukan ini lagi… Kamu mengerti?”

Sebenarnya aku tidak setuju, namun aku pikir untuk saat ini biarkan sajalah. Biar waktu yang menentukan.

“Iya, bu…”

“Keluarin burung kamu.” walaupun Ibu tidak membentakku, tapi dapat kurasakan nada dingin yang keluar dari mulutnya. Dengan menyesal aku mencabut kontolku, Ibu memutar tubuhnya dan sambil mengangkang ia melihat memeknya yang mengeluarkan banyak sekali air maniku. Ia mengambil handuknya lalu buru-buru menutup lubang memeknya.

“Udah jam berapa ini? Ayo kita makan malam…” kata Ibu sambil menghindari tatapan mataku.

Entah kenapa kontolku masih keras saja. Dapat kucium bau memek Ibu di kontol itu. Tak ingin aku membersihkannya. Selain itu, aku masih ingin merasakan tubuh Ibuku yang nikmat dan indah itu. Maka dengan nekat aku menyusul Ibu yang aku tahu pergi ke kamar mandi untuk mengeluarkan spermaku dari lubang vaginanya.

Untungnya kamar mandi tidak dikunci. Entah Ibu sedang terburu-buru ataukah memang sengaja membiarkan pintu itu tak terkunci aku tidak tahu, namun aku menjadi amat senang. Kubuka pintu kamar mandi, Ibu kaget dan melihatku, sementara aku menatap selangkangannya. Ibu sedang berdiri di bawah shower, sementara tangan kanannya memegang selang shower yang menyala, yang diarahkan ke lubang memeknya yang saat itu terbuka karena tangan kiri Ibu membuka bibir vaginanya.

“Kok ga pake baju?” tanya Ibuku sambil mengerutkan kening. Wajah Ibu tambah menarik saja di mataku. Aku bingung mau bilang apa. Aku terdiam tak berbicara, namun mataku menjelajahi lekuk tubuh telanjang Ibu.

Tak lama Ibu selesai membersihkan kelaminnya, dan ketika ia telah menaruh gagang shower di tempatnya dan berjalan hendak melewatiku, aku memeluk tubuh Ibu yang telanjang dengan cepat dan dengan gemas kurangkul erat Ibu yang bugil itu. Kuciumi leher Ibu, karena bibirku hanya sampai di lehernya saja berhubung aku lebih pendek daripada Ibu.

“Sudah malam, ri. Kita makan dulu.”

“Eri ga mau ngelepasin Ibu. Eri ingin memeluk dan mencium Ibu terus,” timpalku sambil terus mengecupi lehernya yang halus dan harum.

“Tapi kita harus makan…”

“Eri ga mau ngelepasin Ibu. Nanti ga bisa lagi…”

“Masa kamu mau begini terus? Ga mau makan?”

“Hmmmm… Boleh ga makan sambil pelukan sama Ibu?”

“Gimana caranya?”

“Kan Ibu bisa nyuapin eri…”

“Ah… Kamu kolokan banget… Ya udah… Sekarang kamu lepasin dulu. Kita ke kamar makan.”

“Tapi… Tapi Ibu jangan pake baju ya… Eri lebih senang kita pelukan sambil telanjang, bu…”

“Ya udah… Lepasin dulu…”

Kami akhirnya melepaskan rangkulan kami. Ibu jalan duluan ke kamar makan sementara aku mengintil di belakang sambil terus menjelajahi tubuh bugil Ibu dengan kedua mataku.

“Bu, kita makan di sofa aja biar lega,” kataku sementara Ibu mengambil nasi dari rice cooker, aku masih di belakang Ibu dan kulingkarkan kedua tangan di perut Ibu lalu mulai menciumi punggung Ibu ketika Ibu tidak berjalan lagi untuk mengambil nasi.

“Kamu ini ciumin badan Ibu mulu… Ngapain sih…”

“Ibu, eri kan sedang memijat Ibu memakai bibir. Ini supaya Ibu cepat sembuh…”

Ibu perlahan berjalan ke meja makan. Aku tetap menempel Ibu dan bibirku juga masih asyik menciumi tubuh Ibu, kini ketika Ibu berhenti di meja makan, kakiku terlambat kuhentikan sehingga kontolku kini menempel ditengah selangkangan Ibu, ini menyebabkan bagian atas batang kontolku menempel di bibir memek Ibu.

Ibu seakan tak merasa, karena ia terus mengambil lauk dan sayur selama beberapa saat. Di ambilnya gelas dan diisinya air putih juga dan ia melakukannya tidak tergesa sehingga aku menciumi, menggerayangi, dan menggesekkan kelamin pada tubuh Ibu selama kurang lebih dua menitan, membuatku keringat dingin merasakan birahi yang menggelegak.

“Mau duduk di mana?”

“Sofa aja… Biar muat…”

Maka Ibu berjalan dengan cepat dan tiba-tiba sehingga rangkulanku lepas. Kalau dipikir, bila tetap kurangkul maka nanti perlu berapa lama kami berjalan ke ruang tamu bila aku menempeli Ibu terus? Tadi saja berjalan dari rice cooker ke meja makan hampir semenit karena harus dilakukan pelan, padahal jaraknya dekat sekali.

Ibu belum sempat duduk, karena menaruh gelas di meja terlebih dahulu. Aku segera tidur di sofa. Ibu yang hendak duduk dengan heran bertanya.

“Ibu di mana?”

“Piringnya taru di meja saja,” kataku.

Ibu menuruti kemauanku. Lalu aku berdiri ke samping Ibu. Kataku.

“Mari kita tarik hingga mejanya menempel sofa.”

Maka kami menarik meja itu sehingga menempel sofa, dan tentunya kami harus menaruh kaki di sofa ketika meja tersebut sudah dekat. Lalu aku geser piring itu sehingga kini terletak di bagian kiri depan sofa. Akupun menaruh kepala di tangan sofa sebelah kiri. Piring di meja itu sejajar dengan dadaku. Sementara, kedua kakiku terlipat karena Ibu duduk di ujung sebelah sana.

“Eri akan meluruskan kaki, Ibu duduk di paha eri, ya…”

Ibu sedikit mengangkat alisnya, namun kulihat ia masih penasaran sehingga ia menurut saja, ia ingin melihat kira-kira mauku apa. Maka Ibu menduduki pahaku, lalu aku tarik kedua tangan Ibu sehingga akhirnya dada kami menempel. Kurasakan pentil Ibu yang mengeras perlahan berdempetan dengan dadaku. Lalu ketika wajah Ibu sudah dekat aku mencium bibirnya.

Ibu membalas ciumanku dan mulai mengeluarkan lidahnya. Lidahku pun ikut turun ke medan percumbuan. Kami menukar ludah kami dalam gerakan silat lidah. Dapat kucium bau nafas Ibu yang perlahan mulai memburu.

“Kapan makannya?” kata Ibu disela-sela pertarungan kedua mulut kami.

Aku berhenti mencium Ibu. Kataku.

“Ambil sesuap, bu…”

Ibu sedikit mengangkat badannya lalu mengambil sendok makan dan menyendok nasi dan sedikit sayur. Ia hendak menyuapi aku. Aku menggeleng, maka Ibu menyuapkan sendok itu ke mulutnya sendiri. Setelah selesai, ia mengambil lagi satu suap lalu hendak disuapkan lagi kepadaku, namun aku menggeleng. Maka Ibu kembali mengunyah makanan itu, barulah aku berkata.

“Jangan ditelan ya… Kalau udah halus suapin langsung ke mulut eri…”

Alis Ibu terangkat begitu mengetahui maksudku dengan tiduran di sofa. Namun aku melihat ada kilatan birahi di matanya. Tampaknya apa yang kuminta dari Ibu tidaklah dianggap buruk oleh Ibu, bahkan Ibu kayaknya terangsang dengan permintaan anehku ini.

Setelah beberapa saat Ibu mendekatkan wajahnya kepadaku sambil terus mengunyah. Aku membuka mulutku lebar-lebar dan mengeluarkan lidahku. Ibu memonyongkan bibirnya dan mengeluarkan isi mulutnya yang berupa makanan yang sudah dikunyah olehnya secara perlahan, agar semuanya jatuh di mulutku dan tidak ada yang tumpah keluar.

Setelah habis, Ibu berkata.

“Daripada satu suap gantian, lebih baik setiap kali Ibu makan, setengahnya untuk kamu, setengahnya untuk Ibu, gimana?”

Aku mengangguk dengan antusias. Lalu Ibu mencampurkan seluruh nasi, lauk dan sayur dengan cara mengaduk sehingga rata. Kini aku yang penasaran dengan apa yang dilakukan Ibu. Kira-kira apa mau beliau, ya?

Setelah makanan di piring teraduk rata. Ibu menaruh sendok di samping piring, kemudian ia menarik piring agar lebih dekat lagi menempel di sofa. Kemudian Ibu membuatku kaget ketika kulihat ia mengambil makanan langsung dari piring, mirip bila anjing atau kucing makan dari piring. Ibu memalingkan wajah dari piring sehingga menghadapku lagi, kulihat ada sedikit nasi dan sayur yang menghiasi pinggir bibir dan pipinya.

Ibu mengunyah makanan dengan mulut tertutup sementara bibirku mengunyahi mulut dan pipi Ibu dengan lidah dan mulutku, tentu tanpa gigi. Aku asyik mengenyot dan menjilat mulut Ibu yang berminyak, ketika tak lama Ibu membuka mulut. Kami berciuman dengan hot sementara sedikit demi sedikit makanan dari mulut Ibu memasuki mulutku.

Ibu kembali mengambil makanan langsung dengan mulutnya, yang diikuti dengan aku yang menyelomoti pipi dan mulutnya untuk mengambil sisa-sisa makanan yang menempel untuk kemudian mulutku menjilati dan menghisapi sekeliling bibir Ibu. Ibu lalu membagi makanan di mulutnya langsung ke mulutku seperti tadi.

Entah berapa lama aku makan langsung dari mulut Ibu, yang jelas kontolku yang terjepit oleh perutnya makin lama makin terasa sakit bukan sakit fisik, melainkan mental, karena ingin sekali aku menyetubuhi Ibuku lagi.

Untung saja ketika isi piring yang kami makan hampir habis, ada jalan yang terbuka bagiku. Ketika Ibu mengambil makanannya dengan mulut, ada nasi yang menempel di lehernya.

“Hmmm… Leher Ibu ada nasi,” kataku sambil langsung menyelomoti leher Ibu, aku menggeser tubuhku ke bawah dengan memegang pantat Ibu dengan alasan nasi di leher Ibu tidak bisa dijangkau. Nasi tersebut terjangkau ketika kontolku masih terjepit badan kami, tepatnya kini setengah batangku menempel di jembut Ibu.

Perlahan aku menggerakkan badan naik, agar tubuh Ibu yang menindihku tidak ikut naik, kini kedua tanganku memegang pundaknya dari belakang. Aku seakan tanpa dosa kembali mencium ke arah atas sehingga mencapai dagu Ibu. Saat itu kontolku sudah menempel di bibir memek Ibu, sehingga aku tidak bisa mensejajarkan bibirku dengan bibir Ibu.

Setelah makanannya kami telan, Ibu beringsut lagi mengambil makanan dari piring. Momen itu aku manfaatkan dengan baik, dengan tangan kananku aku arahkan kontolku agar mengarah ke lubang vagina Ibu. Saat itu Ibu agak lama mengambil makanan, entah kenapa, ketika kulihat, tampak Ibu mengunyah di atas piring, berbeda dengan tadi yang dilakukan di hadapanku.

Saat itu Ibu tiba-tiba beringsut ke bawah, tanpa menunduk, melainkan ia menggeser tubuhnya ke bawah setelah memegang pundakku, sambil membuka mulutnya untuk menciumku dengan mulut penuh makanan.

Ketika mulut Ibu tersambut mulutku yang terbuka sehingga beberapa gumpalan makanan berpindah tempat, kurasakkan kontolku tiba-tiba pula ditelan oleh gua hangat yang sudah basah dan licin, namun sempit. Aku tak kuasa menahan tubuh untuk tidak bergerak maju, sehingga tahu-tahu seluruh kontolku amblas di dalam lubang memek Ibu.

Ibu mengerang, sehingga makanan di mulutnya berhamburan di wajahku, sementara ada butiran makanan di sekeliling bibirnya. Aku memeluk erat tubuh Ibu dan Ibu juga merangkul kepalaku dengan keras, membuat leher Ibu belepotan makanan yang ada di wajahku yang kini menempel di leher.

Memek sempit Ibu bagaikan megap-megap membuka tutup membuat aku seakan ada di surga ketujuh. Kenikmatan memek Ibu memang tiada tandingnya! Kami terdiam beberapa saat menikmati indahnya perasaan baik mental maupun fisik akibat penyatuan dua alat kelamin yang terlarang satu sama lain. Memek seorang Ibu yang hanya boleh dilewati sekali saja oleh anak ketika melahirkan, kini telah dua kali dilewati oleh kontol anak tersebut.

Setelah sensasi yang begitu dahsyat sebentar aku nikmati, aku mulai menjilati leher Ibu yang dihiasi makanan itu. Setelah leher Ibu bersih, aku melanjutkan ke arah mulutnya, Ibu menunduk dan ia juga menjilati mulutku karena wajahku juga cemong oleh makanan.

Setelah kedua wajah kami bersih dari makanan, Ibu menggenjot kontolku menggunakan memeknya dengan keras sehingga terdengar bunyi selangkangan kami beradu dengan sengit.

“Kita ga boleh begini, ri… Ini yang terakhir ya…?”

Aku hanya mengiyakan Ibu saja, namun aku memperhebat kocokan kontolku di dalam lubang vagina Ibuku. Kurasakan sebentar lagi aku akan orgasme, sementara Ibu mengerang-erang keras sambil membalas kocokanku dengan gerakan yang tak kalah cepat dan kuatnya, menunjukkan Ibu juga akan mencapai klimaksnya.

Aku berusaha menahan agar tidak ngecrot duluan, dengan gemas aku sedot leher Ibu kuat-kuat.

“Jangan dicupaaannggg…” teriak Ibu, “nanti kelihatan sama oraaanngg…”

Namun aku terus menyedot leher Ibu kuat-kuat sehingga tak lama tubuh Ibu mengejang di atasku membuat memek Ibu lebih keras lagi memijit-mijit batang kontolku yang membuat aku tak tahan dan kembali menyemprotkan pejuku ke rahim Ibu untuk kedua kalinya hari itu. Leher Ibu terus kucupang, bahkan ketika dengan lemas kami berdua berpelukan dan kontolku mengecil.

Ibu harus mendorong kepalaku ketika ia beranjak dari atas tubuhku, sekitar lima menit kemudian, karena aku terus menyedot lehernya tanpa kulepas. Setelah lepas, leher Ibu bukan kemerahan, warnanya agak keunguan tandap cupanganku yang begitu dahsyat dan lama. Ibu berdiri lalu minum. Di tangan yang satu ia memegang piring yang hampir habis makanannya, sementara, pejuku mengalir keluar dari memek Ibu dan mengalir di pahanya untuk terus ke betis dan ada yang jatuh di lantai.

Ibu kemudian ke dapur untuk cuci piring dan beres-beres. Pejuku berceceran di kaki dan juga di lantai, yang anehnya membuat kontolku keras lagi. Pemandangan di mana seorang Ibu dientot anaknya dan rahimnya disemprot peju anaknya sendiri, peju yang memenuhi rahim dan vagina hingga keluar juga dari memek sang Ibu.

Ibu langsung ke kamar tidur meninggalkan ceceran maniku sepanjang jalan. Aku yang sudah merasa segar lagi, menyusul Ibu. Ibu sedang tidur telentang. Aku menciumi wajahnya.

“Udah, ri… Ibu cape…” kata Ibu sambil membalikkan badan hingga telungkup. Kulihat memek Ibu masih basah dan pejuku masih terlihat keluar sedikit-sedikit. Masih basah, pikirku.

Kulebarkan kaki Ibu, dan aku segera menusuk lagi memek Ibu. Memeknya masih licin karena pejuku sehingga kontolku kini leluasa kusodok-tarik sepanjang lubang memek Ibu. Ibu hanya mendesah seperti kepedasan, tapi tampaknya ia kecapekan karena ia tidak ikut bergoyang. Aku mengentoti Ibu yang telungkup dengan memegang kedua bongkah pantatnya.

Aku cabut kontolku, lalu aku membuka pantat Ibu ke samping hingga lubang tai Ibu terlihat. Aku menjilati lubang itu dengan perlahan. Ada rasa aneh namun penuh sensualisme ketika lidahku menyapu lingkar anus Ibu. Dengan kedua jempol, aku tarik pinggir anus Ibu ke samping hingga lubang pantat Ibu yang merah muda terlihat.

Aku benamkan lidahku sedalam yang aku mampu. Lalu aku gerakan lidahku ke kanan kiri dan kadang menjilat ke atas. Lidahku menerima sensasi panas dari lendir yang ada di lubang anus Ibu. Agak sedikit pahit namun entah kenapa membuat aku bernafsu lagi. Kini lidahku makin ganas menjelajah lubang pantat Ibu, bahkan kadang-kadang mulutku menghisap-hisap, agar aku dapat mengenal rasa lubang pantat Ibu.

“Ohhh… Geli tapi enak, ri… Terus…” kata Ibu dalam desahan yang pelan. Rupanya akibat lubang pantatnya kujilati, Ibu mulai horny juga, buktiknya tangan kanannya kini sudah ditaruh diselangkangannya sendiri dan jari tengahnya mulai mengusap-usap klitorisnya sendiri. Aku bertambah semangat dan terus menjilati dubur Ibu yang kini sudah sangat licin karena dibasahi oleh air liurku.

Suara Ibu mengerang kembali terdengar. Memeknya kini mengeluarkan wangi menyengat, dan kurasakan daguku basah terkena cairan yang keluar dari vaginanya itu. Terkadang kujilati bibir memek Ibu yang basah agar aku dapat mengetahui cairan memek Ibu itu bagaimanakah rasanya. Memek Ibu dan anus Ibu sungguh nikmat, aku tidak tahu mana yang lebih nikmat, berhubung akalku kini hanya berkonsentrasi menikmati rasa selangkangan Ibu.

Setelah sekitar limabelas menit, Ibu berteriak mengerang dan tubuh bawahnya bergetar mengejang disertai cairan memek Ibu yang membanjiri selangkangannya yang sedang asyik aku cumbu.

Bau tubuh Ibu dan erangan yang keluar dari mulut Ibu kini membuat aku tak tahan lagi, aku segera memasukkan kontolku ke dalam memek Ibu dalam satu gerakan tusukkan sehingga seluruh kontolku amblas di kemaluan Ibuku. Dengan cepat aku mengentoti memek Ibu yang basah dengan pantat Ibu sebagai tumpuannya.

Setelah kurang lebih dua menit, dan aku yakin bahwa kontolku sudah basah seluruhnya, aku cabut kontolku. Kutaruh kepala kontolku di lubang anus Ibu yang juga basah kuyup, lalu menggunakan kedua tanganku di pinggul Ibu, aku tindih pantat Ibu sekuat tenaga sehingga tiba-tiba saja kontolku memasuki lubang anus Ibu yang sangat amat sempit.

“Aaaaahhhhhhh… Eriiiii… Ibu belum pernaaaaahhhhh… Sshshsssshhhh… Sakiiiiit, riiiiii…”

Aku menghempaskan tubuhku di punggung Ibu sementara kontolku sudah terkubur dalam di lubang pantat Ibu yang begitu sempitnya. Aku menyedot-nyedot dan menjilati punggung Ibu dengan rakus, sehingga tak lama kemudian punggung Ibu dihiasi oleh cupanganku di sana-sini. Lewat beberapa menit, lubang Ibu yang tadi mencengkram, kini sedikit melonggar, walaupun tetap menjepit keras batang kemaluanku.

Aku mulai menggoyang pantatku maju mundur. Pantatku yang mengulek-ulek saja, aku tidak membantu dengan gerakan pinggul sehingga hujaman kontolku tidak begitu jauh di dalam anus Ibu, melainkan gerakan masuk keluarnya hanya sekitar dua senti saja. Aku ingin agar Ibu terbiasa dulu, barulah nanti akan kuewe sekuat mungkin ketika Ibu sudah beradaptasi dengan kontolku di lubang pantatnya.

Ibu mulai mengusap-usap kelentitnya sendiri lagi. Ibu kini mendengus-dengus, bukan mendesah. Tampaknya antara sakit dan nikmat membuat Ibu mengeluarkan suara seperti itu. Kontolku kini mulai menyangkuli anus Ibu dengan cepat dan keras. Aku sudah memakai pinggul, sehingga gerakan maju mundurku semakin jauh yang mengakibatkan kini terdengar suara benturan selangkanganku dengan pantat Ibu yang bohay itu.

Lubang pantat Ibu begitu sempit dan panas, sensasinya sungguh berbeda dengan berkelamin. Sensasi jepitan dubur Ibu membuatku lebih cepat mencapai kenikmatan ini. Aku semakin kuat dan cepat mengentoti anus Ibu. Tubuh kami berdua kini sudah banjir keringat. Tubuh Ibu begitu berkilat dan terang. Aku kembali menjilati dan mencupangi punggung telanjang Ibu sementara kontolku terus mengaduk-aduk lubang tahi Ibu, menumbuki lobang itu bagaikan piston bergerak dalam blok mesin.

Tadinya aku pikir aku yang akan sampai duluan, ternyata Ibu dulu yang sampai. Kurasakan tubuh Ibu mengejang beberapa saat sebelum dengan lemas terkulai di atas tempat tidur. Tak lama, akupun mencapai orgasme.

Ketika kurasakan pejuku sudah siap dikeluarkan, aku mencabut kontolku, menaruhnya di memek Ibu dan lalu menghujamkannnya dalam-dalam bertepatan dengan burungku yang langsung muntah di dalam memek Ibu saat ujung kontolku menekan mulut rahim Ibu. Pejuku langsung tercurah ke dalam peranakan Ibuku. Setelah itu, aku menindih Ibu dengan lemas.

“Kok kamu ejakulasi di memek Ibu?” tanya Ibu.

“Siapa tahu Ibu hamil, nanti…”

“Kok kamu ejakulasi di memek Ibu? kan Ibu udah bilang Ibu ga pake Kontrasepsi…” tanya Ibu.

“Iya dong ma. Eri mau merasakan menjadi seorang Ayah. Eri mau menghamili Ibu. Dengan begitu kejantanan eri sudah terbukti menghasilkan…”

“Ada-ada saja…” kata Ibu. Itulah kalimat terkahir dari Ibu di malam pertama kali kami bersetubuh.

Sehabis itu, kami berdua selalu telanjang bulat di rumah. Aku menyetubuhi Ibu kapanpun aku mau. Bahkan bila Ibu haid, aku akan mengentoti anus Ibu. Jadi bagiku, tiada hari tanpa persenggamaan. Yang aku paling suka adalah ketika pulang sekolah. Aku akan buru-buru buka baju dan menaruh pakaian kotor di tempatnya, sementara aku akan mencari Ibu.

Biasanya jam segitu Ibu akan sIbuk di dapur, tetapi semenjak kami menjadi kekasih, maka setiap kali aku pulang sekolah, Ibu akan menungguku di kamar tidurnya. Kami akan ngentot dahulu satu kali, kemudian dengan bertelanjang Ibu pergi ke dapur sementara aku menunggu di sofa. Ibu akan membawa satu piring makanan, dan kami akan makan siang.

Setelah makan siang, maka kami kembali akan bersetubuh hingga sore hari. Kami akan mandi, dan kadang kami melakukannya lagi. Setelah itu kami akan menunggu makan malam dengan menonton tv, yang kadang diselingi dengan hubungan badan. Setelah itu aku akan buat pr. Barulah setelah itu aku akan mendatangi Ibu dan melakukan persenggamaan terakhir pada hari itu sebelum akhirnya kami berdua tidur karena kelelahan.

Ketika Ayah pulang, aku sebal karena kupikir jatahku akan berkurang. Pulang sekolah aku bergegas ke kamar tidurku, mendapati Ibu yang sedang telanjang bulat!

“Ibu! Ayah di bawah lagi nonton tv!”

“Ibu lupa bilang ke kamu ya? Sebenarnya, ini semua ide Ayah kamu. Ayah kamu sudah tidak mampu lagi memuaskan Ibu. Dia itu impoten. Ibu sudah menawarkan cerai, tetapi Ayah tidak mau. Akhirnya Ayah mengusulkan agar Ibu selingkuh saja. Tapi, Ibu tidak mau berhubungan badan dengan orang lain. Ibu tidak mau merusak keluarga ini.

“Pada awalnya Ibu menolak. Namun akhirnya setelah berbulan-bulan, Ibu butuh sekali melampiaskan nafsu birahi ini. Akhirnya Ibu setuju dengan rencana Ayahmu. Ayahmu mengusulkan agar menggunakan alasan minta dipijat saja, karena dengan menggunakan akal itu, maka kamu akan melihat dan meraba-raba Ibu yang nyaris telanjang.

Lalu dengan senyum manis ia berkata.

“Sekarang Ibu ini sudah jadi milikmu seutuhnya. Tidak ada lelaki lain bagi Ibu. Apalagi sekarang Ibu sudah hamil dua minggu. Maka Ibu dan Ayah dari anak yang dikandung Ibu ini sudah seharusnya berpesta!”

“Omg… Hello? Ibu hamil! Yes! Aku jadi Ayah sekarang!”

Ibu melebarkan kedua pahanya dan berkata dengan suara bernada penuh kenakalan.

“Ayo, Ayah… Mulai dong pestanya…”

Berhubung aku anak yang taat pada orangtua, maka aku secepat kilat membuka seluruh pakaianku. Sungguh, inikah yang namanya surga dunia?

- T A M A T -
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top